Heri Mahbub
Kosakata “murajaah” telah menjadi akrab di kalangan masyarakat sejak maraknya para penghafal Al-Quran atau hafiz. Namun, banyak yang belum memahami sepenuhnya makna atau filosofi di balik istilah “murajaah”.
Kosakata “murajaah” telah menjadi akrab di kalangan masyarakat sejak maraknya para penghafal Al-Quran atau hafiz. Namun, banyak yang belum memahami sepenuhnya makna atau filosofi di balik istilah “murajaah”. Mereka sering menganggap murajaah sebagai kegiatan mengulang hafalan Al-Quran secara berkelompok. Oleh karena itu, penulis merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut.
Kata “murajaah” berasal dari akar kata “raja’a” (رَجَعَ) yang berarti kembali atau pulang. Proses mengulang hafalan disebut murajaah karena hanya dapat dilakukan setelah mengulang kembali ke bagian yang telah dipelajari sebelumnya. Ini mengikuti pola gramatikal “wazan mufaa’alah” (مُفَاعَلَةٌ) dari bentuk kata kerja faa’ala yufaa’ilu (فَاعَلَ يُفَاعِلُ), yang pada dasarnya menggambarkan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama. Oleh karena itu, murajaah pada awalnya tidak dilakukan secara individual, melainkan melibatkan saling membantu antara sesama penghafal Al-Quran.
BACA JUGA: Beberapa Doa yang Dianjurkan untuk Menghafal Quran
Saling bertukar jawaban dalam diskusi atau obrolan, seperti yang digambarkan dalam kamus bahasa Arab, juga dapat disebut sebagai murajaah. Imam Ilkiya al-Harasi (w. 504 H.) menyebutkan bahwa setiap kali ia menghafal ilmu dalam bentuk hadits, ia akan membacanya kembali dengan dibantu oleh istrinya di rumah, meskipun istrinya sendiri belum menghafal. Tindakan yang dilakukan oleh Ilkiya al-Harasi ini dinyatakan sebagai “murajaah”, mirip dengan tradisi setoran.
Ada satu kejadian ketika Rasulullah Saw menyatakan, “Barangsiapa yang dihisab, berarti dia akan diadzab.” Kemudian, Siti Aisyah bertanya, “Bukankah ada hisab yang ringan bagi orang yang diberikan buku catatan amalnya dari tangan kanan?” Rasulullah Saw menjawab, “Hisab yang ringan bukanlah hisab yang mempertanggungjawabkan setiap amalnya satu per satu, tetapi hanya menunjukkan buku amalnya saja.” Tindakan yang dilakukan oleh Siti Aisyah dalam merujuk kepada hadits Imam al-Bukhari (w. 259 H.) disebut sebagai murajaah.
Siti Aisyah tidak hanya menerima ilmu dari Nabi Saw yang tidak dipahaminya tanpa pertanyaan, tetapi dia memperjelas pemahamannya dengan bertanya kembali kepada beliau. Dalam hal ini, murajaah tidak hanya bertujuan untuk menguatkan hafalan, tetapi juga untuk memperdalam pemahaman. Imam al-Bukhari (w. 504 H.) bahkan memasukkan kisah murajaah Siti Aisyah ini sebagai bab khusus dalam Kitab Ilmu dari Shahih-nya.
Ketika seorang peneliti merujuk pada referensi utama untuk membuktikan hasil penelitiannya, itu juga disebut sebagai murajaah. Kata “merujuk” berasal dari bahasa Arab “ruju’” (رُجُوْعٌ), yang merupakan dasar dari kata “murajaah”. Dalam tradisi membaca Al-Quran dengan melihat (binnazhar) di Nusantara, jika ada waqaf (berhenti) pada kalimat yang belum selesai, maka untuk melanjutkan pembacaan, pembaca harus mundur ke awal kalimat. Hal ini juga disebut sebagai murajaah.
Ada satu kejadian di mana Umar bin Khaththab melewati sekelompok orang yang sedang membaca Al-Quran secara berkelompok. Kemudian, Umar bertanya kepada mereka, “Apakah kalian saling silang membaca Al-Quran?” Mereka menjawab, “Kami sedang membacakan Al-Quran sebagian kami kepada sebagian yang lain.” Kosakata yang digunakan oleh Umar bin Khaththab saat bertanya kepada mereka adalah “murajaah”.
BACA JUGA: Bagaimana Manajemen Waktu Ideal dalam Menghafal Quran
Dengan demikian, murajaah berbeda dengan takrir atau tikrar. Meskipun keduanya berarti mengulang-ulang, takrir atau tikrar lebih berkaitan dengan mengulang pelajaran yang belum dihafal hingga dihafal sepenuhnya. Salah satu teknik yang dikenal di kalangan ulama Salaf adalah memperbanyak takrir, yaitu dengan mengulang-ulang pelajaran hingga hafal. Sementara murajaah mengacu pada mengulang pelajaran yang sudah dihafal sebelum masa ingatnya berakhir, dengan tujuan menjaga dan meningkatkan kualitasnya dalam berbagai aspek seperti kefasihan, pemahaman, pengamalan, kekhusyukan, dzikir, dan keikhlasan.
Ini dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok, atau dengan memberikan setoran kepada seorang hafizh. Sehingga, pembacaannya menjadi doa yang mustajab yang diharapkan oleh semua orang.
Rasulullah Saw pernah mengutip firman Allah, atau yang dikenal sebagai Hadits Qudsi, bahwa Allah Swt berfirman, “Barangsiapa yang disibukkan oleh Al-Quran sehingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan kepadanya sesuatu yang lebih baik dari yang diberikan kepada para peminta.”
Dengan kata lain, murajaah juga merupakan cara bagi para penghafal Al-Quran untuk meminta kepada Allah dengan cara yang terbaik dan paling mustajab. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa pada masa para sahabat dan tabiin, mereka diberikan banyak anugerah oleh Allah, meskipun dzikir dan doa mereka hanyalah membaca Al-Quran.
Demikian Penjelasan tentang apa itu murajaah, dan perjuangannya yang mulia para penghafal Al-Quran. Tulisan ini terinspirasi dari KH. Deden Makhyarudin MA, founder Indonesia Murajaah yang banyak memberi bimbingan kepada para hufaz Qur'an. Semoga bermanfaat.
wallahu’alam
Inspiring People to Love and Live With Quran