Heri Mahbub
Bulan Ramadan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam untuk memperbanyak amal soleh dan mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan, terutama pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, adalah i’tikaf. Bagaimana waktu, tempat, amalan, dan syarat Itikaf bagi perempuan? simak artikel berikut.
I’tikaf (الإِعْتِكَافُ) dari segi bahasa berasal dari kata al-‘akfu (العَكْفُ), yang bermakna menahan atau melarang. Maksudnya menahan diri dari berbagai aktivitas yang menjadi kebiasaan.
Sedangkan menurut istilah, i’tikaf adalah menetap di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu [memenuhi syarat bolehnya i’tikaf], dengan niat beribadah [taqarrub ilallaah].
Syariat i’tikaf dinyatakan dalam Al-Qur’an, Hadits serta pendapat para ulama salaf.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 125, Allah Ta'aala berfirman,
“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Al-Baqarah [2] : 125)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan i’tikaf setelah [wafat]nya beliau.” (Muttafaq alaih)
Para ulama sepakat bahwa i'tikaf adalah perbuatan sunnah baik bagi laki-laki maupun perempuan. Kecuali jika seseorang bernadzar untuk i'tikaf, maka dia wajib menunaikan nadzarnya. Itu berarti i’tikaf baginya dihukumi wajib.
Nadzar itu misalnya seseorang berjanji : “jika saya berhasil mencapai target A, saya bernadzar akan beri’tikaf selama 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” Maka i’tikaf hukumnya menjadi wajib/keharusan bagi nya.
Waktu i’tikaf -berdasarkan pendapat mayoritas ulama dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah melakukan i’tikaf di bulan Syawwal. (Muttafaq ‘Alayh)
Beliau juga diriwayatkan pernah i’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadhan. (HR. Muslim)
Namun waktu i’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa awal mulai i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan ialah sesaat sebelum terbenamnya matahari [maghrib], di hari ke -20 bulan Ramadhan.
Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa durasi i'tikaf berakhir saat matahari terbenam di hari terakhir Ramadhan.
I’tikaf bermakna berdiam diri. Dan segala aktivitas berdiam diri di masjid dalam rangka taqarrub ilallah adalah i’tikaf. Baik itu lama maupun sesaat.
Imam Nawawi mengatakan bahwasanya i’tikaf meski sesaat, tetap akan diberikan pahala walau sebatas duduk di masjid. Bahkan walau mengisi dengan perkara dunia -seperti makan minum- di masjid. (Al-Jami’ Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam)
Sedangkan lama maksimal i’tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidak melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah di tahun wafatnya pernah melakukan i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalil keumuman I’tikaf sesuai ayat Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 187 :
“dan janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf...” (QS. Al-Baqarah [2] :187)
Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat jum’at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah.
Disamping, jika i’tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif : ia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat i’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.
Yang dimaksud masjid sebagai tempat i'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.
Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta i’tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas khusus tempat tidur dan menyimpan barang bawaan. Serta dapur yang bisa digunakan untuk menyiapkan makanan.
Dibolehkan i’tikaf di mushalla seperti yang dijelaskan di atas dengan catatan di mushalla tersebut dilaksanakan shalat berjamaah lima waktu. Adapun untuk shalat jum’at dia boleh keluar ke masjid lain dan segera kembali ke mushalla tersebut jika sudah selesai. Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Itikaf Ramadan: Makna dan Tatacaranya
Perempuan dibolehkan melakukan i’tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah melakukan i’tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan i’tikaf. (HR. Bukhari)
Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan i’tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi perempuan di masjid dan tidak sedang dalam kondisi haidh/nifas.
Secara umum, orang yang sedang i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan saat sedang i’tikaf.” (Muttafaq ‘alayh)
Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang i’tikaf boleh keluar masjid adalah : buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat jum’at dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.
Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan i’tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali i’tikafnya.
Termasuk dalam hal ini adalah perempuan yang mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf.
Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka i’tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat i’tikaf dari awal.
Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat i’tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan i’tikaf. Adapun bercumbu atau melakukan masturbasi, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan. (Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh As-Syafi’I)
Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan -menurut sebagian ulama- jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari i’tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid. (Al-Jami’ Al-‘Aam fi Fiqh Ash-Shiyam)
Seseorang dibolehkan membatalkan i’tikafnya dan tidak ada konsekuensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.
Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul qur’an [membaca Al-Qur’an], berdo’a, berdzikir, muhasabah, tholabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah dikunjungi Shofiyah binti Huyay, isterinya, saat beliau i’tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat.
Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah disisirkan Aisyah, saat beliau i’tikaf.
Dilarang saat i'tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah [gosip], namimah [mengadu domba] atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya. Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.
(Dari Berbagai Sumber)
Wallahu a’lam bish-shawaab